Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin
nyata dan untuk keperluan itu, para ahli hukum pidana telah memikirkan agar
hukum pidana dapat “pasti” dan “adil” sehingga timbullah bentuk-bentuk hukum
pidana yang dirumuskan dalam undang-undang dan atau kitab undang-undang
(kodifikasi). Namun hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap
negara di dunia, berbentuk undang-undang dan kodifikasi. Negara-negara yang
menganut sistem hukum Anglo-Saxon hampir seluruhnya tidak mengenal hukum pidana
dalam bentuk kodifikasi dan hanya sebagian kecil negara-negara itu yang
mempunyai kodifikasi hukum pidana. 43 Sumber hukum merupakan asal atau tempat
untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan
sumber hukum dalam arti formil. Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia
adalah sebagai berikut:[1]
1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang
tertulis Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya
adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch indie (W.v.S), sebuah Titah
Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 15
Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP atau
W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie (turunan)
dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat tahun
1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886 tidak seratus persen sama, melainkan
diadakan penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan tanah jajahan
Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya tetap sama.
KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal
17 Agustus 1945 mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan
Undang-undang No. 1 Tahun 1942 (Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta), Pasal
1 berbunyi: “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal
10 Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang
berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret
1942”. Ini berarti bahwa teks resmi (sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa
Belanda.
Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945
kembali lagi ke Indonesia, setelah mengungsi selama zaman pendudukan Jepang
(1942-1945) juga mengadakan perubahan-perubahan terhadap W.v.S. v.N.I. (KUHP),
misalnya dengan Staatblad 1945 No.
135 tentang ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana
Pasal 570. Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua
pemerintahan yang saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini
seolah-olah atau pada hakekatnya telah menimbulkan dua buah KUHP yang
masing-masing mempunyai ruang berlakunya sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan
ada dualisme dalam KUHP (peraturan hukum pidana). Guna melenyapkan keadaan yang
ganjil ini, maka dikeluarkan Undang-undang No. 73 Tahun 1958 (L.N. 1958 No.
127) yang antara lain menyatakan bahwa Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1946 itu
berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-perubahan
yang diadakan oleh Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap
tidak ada. KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk
semua golongan penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah
ada unifikasi. Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah
peraturan-peraturan pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan
pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan
perundangundangan hukum pidana lainnya.
2. Hukum pidana adat Di daerah-daerah tertentu dan untuk
orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber
hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan
menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang
Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih
berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja)
maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari
bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber
hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.
3. Memorie van
Toelichting (Memori Penjelasan) M.v.T. adalah penjelasan atas rencana
undang-undang pidana, yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman Belanda bersama
dengan Rencana Undang-undang itu kepada Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun
1881 disahkan menjadi Undang-undang dan pada tanggal 1 September 1886 mulai
berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut dalam pembicaraan KUHP karena KUHP ini
adalah sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia Belanda. W.v.S. Hindia Belanda
(W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 itu adalah copy
dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda
tahun 1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal
yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.
Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut
dipidananya suatu perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa
sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak
dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 145 ayat (1) Konsep. Namun berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan
di dalam KUHP (WvS) selama ini, Konsep memperluas perumusannya secara materiil
dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi
berlakunya "hukum yang hidup" di dalam masyarakat. Dengan demikian,
di samping sumber hukum tertulis (Undang-undang) sebagai kriteria/patokan
formal yang utama, Konsep juga masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak
tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut
dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat
itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingnya (persamaannya) atau tidak
telah diatur di dalam undang-undang.[2]
Diakuinya tindak pidana
atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal
sebagai tindak pidana adat adalah untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup
di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah
air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup
dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa
pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan
sanksi yang berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan
oleh pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai dan norma yang
hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi
rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti ini
tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta
larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[3]
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa menurut Konsep KUHP
Baru sumber hukum pidana itu adalah sumber hukum tertulis (undang-undang) dan
sumber hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat. Penjelasan Pasal 1 ayat
(3) Konsep KUHP Baru menyebutkan, untuk memberikan dasar hukum yang mantap
mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan
secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan ini
merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi
rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
__________________________
cttn referensi:
[1] Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto,
Semarang 1990, hlm 15-19
[2] Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembagan Penyusunan Konsep KUHP Baru),
Kencana, Jakarta 2008, hlm 73-74.
[3] Penjelasan Buku I angka 3 Konsep KUHP Baru Tahun
2006/2007
EmoticonEmoticon